setelah
wafatnya, ternyata melebihi
realitas kehidupannya.
Keharuman spiritual yang
eksotis, begitu lekat dan
fenomenal. Hal ini tentu
berhubungan dengan kondisisosiologis masyarakat NU yang seringkali membuat standar
maqom spiritual seseorang
diukur dengan kharisma dan
keanehan yang luar biasa
(khariqul ‘adat) berupa
karomah-karomah, walau pun
dalam perspektif Sufisme standar
tersebut tidak baku.
wafatnya, ternyata melebihi
realitas kehidupannya.
Keharuman spiritual yang
eksotis, begitu lekat dan
fenomenal. Hal ini tentu
berhubungan dengan kondisisosiologis masyarakat NU yang seringkali membuat standar
maqom spiritual seseorang
diukur dengan kharisma dan
keanehan yang luar biasa
(khariqul ‘adat) berupa
karomah-karomah, walau pun
dalam perspektif Sufisme standar
tersebut tidak baku.
Dalam khazanah tasawuf, tradisi
kewalian seseorang sangat ketat
dengan aturan-aturan gnostik
(ma’rifatullah) yang teraksentuasi
dalam sikap ubudiyah. Ada dua
model kewalian dalam sosiologi
Tasawuf, di satu sisi seorang wali
ada yang sangat popular dengan
hal-hal luar biasa di luar
jangkauan nalar, ada pula yang
sangat tersembunyi, bahkan
kehebatan karomahnya tidak
dikenal oleh public sama sekali.
Namun, Gus Dur memiliki
fenomena spiritual yang langka
dibanding kiai-kai lain di Jawa,
karena harus muncul dalam
gebrakan sejarah yang penuh
warna. Dari sosoknya sebagai
budayawan, seniman, kiai,
politisi, pemikir, pembaharu, dan
seorang yang mampu
mengangkat khazanah
tradisional dalam dialog
cosmopolitan yang actual. Dan
spirit yang membawa sosoknya
sedemikian kuat itu, dilandaskan
pada spiritualitas yang sangat
kaya dengan kebebasan,
kemerdekaan, penghargaan
kemanusiaan, sekaligus
askestisme yang tersembunyi
dalam jiwanya: Dunia Sufi.
Sufisme Gus Dur yang selama ini
hanya difahami oleh massanya,
melalui kebiasaan ziarah ke
makam para wali, ungkapan-
ungkapan yang controversial,
dan spontanitasnya yang
inspiratif, serta garis keturunan
seorang Ulama dan wali yang
terkenal, Hadhratusy Syeikh
Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
Namun, laku Sufistik Gus Dur
justru terletak pada sikap dan
konsistensinya terhadap nilai-nilai
tasawuf yang sama sekali tidak
terpaku pada simbolisme tasawuf
sebagaimana gerakan kaum Sufi
modern saat ini.
Komunikasi Ilahiyah yang selama
ini terjalin adalah “hubungan
rahasia” yang sunyi di tengah-
tengah hiruk pikuk dunia, dan
melakukan gerakan terlibat
dengan kehidupan nyata,
dengan keberanian mengambil
resiko bahaya, demi
mempertahankan prinsip
utamanya. Namun di sisi lain,
ada konser kebahagiaan yang
berirama indah dalam musikal
dzikrullah, saat Gus Dur sedang
sendiri, menyepi (khalwat) dalam
jedah kesehariannya. Dua sisi
hiburan spiritual yang boleh
disebut sangat langka: Ramai
dalam sunyi, dan sunyi dalam
ramai.
Pengaruh dari nuansa yang
diyakini itu, Gus Dur justru
mampu melakukan terobosan
yang luar biasa, begitu cepat.
Dalam 20 tahun gerakan
Gusdurian, masyarakat NU yang
jumlahnya begitu besar terbuka
lebar dalam dialog kemodernan,
seperti sebuah gerakan konser
musik yang dinamik. Maka
liberalitas tradisionalnya muncul
dengan kuantum melebihi
zamannya. NU menjadi
organisasi masyarakat muslim
modern yang mengejutkan, yang
disebut oleh Nakamura sebagai
organisasi Islam paling
demokratis di dunia.
Namun seluruh dinamika
gerakan Gus Dur tidak lepas dari
nilai-nilai tradisional Sufistiknya
yang transformative. Semisal Gus
Dur yang begitu kental dengan
hikmah-hikmah Ibnu Athaillah
as-Sakandary yang tertuang
dalam kitab Sufi Al-Hikam –
bahkan hafal di luar kepala –
dalam membangun masyarakat
Islam dalam konteks ke-
Indonesiaan.
Kitab Al-Hikam sangat dikenal
oleh para Ulama Sufi sejak abad
tujuh hijriyah, menjadi manual
bagi “Sufisme Pesantren” tingkat
tinggi, sebagai kajian sufi paska
Ihya’ Ulumaddin, Al-Ghazaly, Ar-
Risalatul Qusyairiyah karya Abul
Qasim Al-Qusyairy, maupun Al-
Luma’, karya Abu Nashr as-
Sarraj.
Kekentalan Gus Dur dengan Al-
Hikam memberi warna kuat,
terutama dua wacana disana
yang berbunyi: “Janganlah
engkau bergabung atau berguru
dengan orang yang kata-kata
dan perilaku ruhaninya tidak
membangkitkan dirimu dan
menunjukkan padamu menuju
Allah.” Konon, nama Nahdhatul
Ulama mendapatkan inspirasi
dari hikmah tersebut, sekaligus
menjadi standar apakah Ulama
NU kelak konsisten dengan
kebangkitan menuju Allah atau
menuju dunia?
Kemudian, hikmah lain yang
begitu kental, adalah,
“Pendamlah dirimu di tanah
sunyi, karena biji yang tak
pernah terpendam tidak akan
tumbuh dengan sempurna.”
Sebuah wacana yang sangat kuat
tekanannya dalam menggugat
kemunafikan beragama, dan
segala gerakan industri ekonomi
dan politik atas nama agama,
yang akhir-akhir ini begitu
menguat beriringan dengan
gerakan formalisme keagamaan.
Menyembunyikan hubungan
antara hamba dan Allah sebagai
rahasia kehambaan adalah
mutiara Sufi yang agung.
Sebaliknya pamer pengalaman
beragama, bahkan menjurus
pada riya’ adalah bentuk syirik
yang tersembunyi. Karena itu,
dalam Al-Hikam juga disebutkan,
“Nafsu dibalik maksiat itu nyata
dan jelas, tetapi nafsu di balik
taat itu, sangat tersembunyi, dan
terapi atas yang tersembunyi
sangatlah sulit.”
Demokrasi dan Sufisme
Disinilah Sufisme menjadi
penghubung efektif, ketika
demokrasi diterjemahkan dalam
hubungan saling menghargai di
tengah pluralitas yang sedang
bergerak. Sebab, kebebasan,
penghargaan terhadap hak-hak
kemakhlukan, kecintaan sesama,
kehambaan individu, dan
sejumlah nilai-nilai yang bisa
mempertemukan perspektif
bersama hanya pada Sufisme.
Sebab hanya Sufisme-lah yang
melihat dua titik pandang: Allah
dan manusia. Pandangan-
pandangan Sufistik itulah yang
melampaui “halal-haram”,
sehingga hubungan kebangsaan
tidak dihorisonkan pada
belahan-belahan yang saling
berhadapan, hitam dan putih. Di
sini, jika tidak kita cermati,
lompatan-lompatan pemikiran
Gus Dur terasa konstroversial,
karena di satu sisi ia harus
menjadi Kiai Bangsa, di lain pihak
ketika ia harus menjadi Presiden.
Ketika ia masih menjadi presiden
ada posisi dualistik. Posisinya
sebagai Kiai Bangsa adalah posisi
Sufistik dalam membangun
kearifan hidup bersama,
sementara tugas-tugas formal
kepresidenannya, jelas
berhubungan dengan amanat
yang dilimpahkan oleh MPR
kepadanya. Namun, ketika posisi
Kiai Bangsa dinilai lebih menonjol
ketimbang kepresidenannya,
tiba-tiba gugatan-gugatan
muncul sampai pada titik paling
kritis. Suatu gugatan “halal-
haram” dari lawan-lawan
politiknya.
Mengapa Gus Dur lebih banyak
menonjolkan Kiai Bangsa
ketimbang kepresidenannya?
Karena kebutuhan bangsa saat
ini bukanlah kebutuhan
formalitas dan “topeng-topeng”
dibalik birokrasi dan
penyelenggaraan negara. Setelah
tiga dasawarsa bangsa ini
dibelenggu oleh formalisme dan
ritualisme monopolitik, maka,
pertama-tama bangsa ini
membutuhkan pencerahan jiwa
agar bisa kembali ke fitrah
kebangsaannya.
Tanpa kesadaran psikhologis
akan hakikat berbangsa,
demokrasi akan gagal dibangun,
apalagi oleh sekadar mayoritas
dan minoritas dalam perolehan
suara, menang dan kalah belaka.
Berarti, Gus Dur tetap
mengambil wilayah hati nurani,
untuk menjadi jiwa demokrasi.
Disebut hati nurani disini,
bukanlah ambisi-ambisi batin
yang diaksentuasikan dalam
jeritan protes atau
pemberontakan rasional. Protes-
protes apa pun namanya, selalu
merujuk pada ketidakadilan.
Tetapi penegakan keadilan
belaka, ternyata tidak cukup
untuk menegakkan rumah
kebangsaan. Karena fondasi
rumah kebangsaan kita adalah
cinta dan kasih sayang, bukan
keadilan. Kasih sayang atau
rahmat, ketika
diimplementasikan dalam proses
berdemokrasi, akan melahirkan
penghargaan terhadap pluralitas
secara adil dan egaliter.
Sementara penegakan keadilan
tanpa rahmat, hanya melahirkan
kemenangan penuh dendam.
Inilah yang ingin dihindari Gus
Dur, ketika dulu mengadili
Soeharto, jangan sampai timbul
rasa dendam terhadap tokoh
Orba tersebut. Sebab siapa pun
merasa tidak mendapatkan
ketidakadilan ketika ia harus
dihukum, namun harus pula
menerima dendam kemanusiaan.
Dalam kisah legendaris, yang
dipresentasikan secara dramatis
antara Sunan Kalijogo dengan
Syeikh Siti Jenar, terpantul suatu
cerminan, bahwa eksekusi
terhadap Syeikh Siti Jenar, sedikit
pun tidak mengurangi rasa cinta
Sunan Kalijogo terhadap
kawannya itu. Karena,
sesungguhnya jiwa dan hati
Sunan Kalijogo dan Syekh Siti
Jenar berada dalam dataran
yang sama. Dan sebaliknya, sikap
demokrat sejati Syeikh Siti Jenar
yang secara “berani”
menghadapi eksekusi, adalah
karena penghargaannya
terhadap konstitusi dan hukum
para Wali.
Maka, di dalam drama eksekusi
tersebut, prosedur-prosedur
formal tidak boleh
mengintervensi aturan-aturan
jiwa yang menjadi batin dari
suatu keputusan. Karena
intervensi rasionalisme terhadap
spiritualisme bisa melahirkan
emosi-emosi negatif, sebalikinya
intervensi spiritualisme terhadap
rasionalisme bisa melahirkan
kalim-klaim sakralisme dalam
bentuk sekularisme yang maniak.
Oleh sebab itu, dendam
terhadap tokoh yang bersalah,
bisa disebut sebagai “dosa
demokrasi” ketika penegakan
hukum sebagai salah satu lemen
demokrasi, justru ditaburi oleh
“balas dendam”. Sementara
fakta yang kita lihat dalam
proses demokratisasi kita, justru
ada elemen lain yang ditolerir
dalam proses penegakan hukum,
yaitu proses dendam sejarah.
Kenyataan ini menunjukkan
adanya pertanyaan besar yang
belum dijawab oleh mereka yang
ingin menegakkan demokrasi itu
sendiri. Nilai-nilai dan roh
demokrasi model apakah yang
hendak ditegakkan bagi
demokrasi Indonesia?
Sebagai suatu wacana, Sufisme
bisa disebut sebagai wacana baru
bagi proses penegakan wacana
kedemokrasian kita. Walau pun
begitu, — setidak-tidaknya, —
kita melihat sebagian praktek
Sufisme bagi demokrasi itu ada
dalam perilaku kepemimpinan
Gus Dur. Terlepas suka maupun
tidak, sangat tidak demokratis
manakala kita bersikap apriori
begitu saja terhadap gerakan
Demokrasi Gusdurian, sebelum
kita memahami secara tulus apa
dan siapa Gus Dur dalam
konteks kebudayaan dan
hakikat-hakikat keagamaan. *
Gus Dur adalah Tokoh
Pluralisme, terserah jika ada
orang yang tidak suka dengan
sebutan ini, termasuk para
pecintanya sendiri. Konon,
Djohan Efendi, sahabat setia Gus
Dur, pernah diminta Gus Dur
agar jika ia kelak wafat, nisannya
ditulis “Di Sini dikubur Sang
Pluralis”. Terlepas pesan itu
benar diucapkan Gus Dur atau
tidak, dan tak peduli masyarakat
memperdebatkan maknanya,
tetapi beliau orang yang selalu
ingin memandang manusia,
siapapun dia dan di manapun
dia berada, sebagai manusia
yang adalah ciptaan Tuhan.
Sebagaimana Tuhan
menghormatinya, Gus Dur juga
ingin menghormatinya.
Sebagaimana Tuhan mengasihi
makhluk-Nya, Gus Dur juga ingin
mengasihinya.”Takhalquu bi
Akhlaq Allah” (berakhlaklah
dengan akhlak Allah), kata
pepatah sufi. Sejauh yang saya
tahu, Gus Dur tak banyak bicara
soal wacana Pluralisme berikut
dalil-dalil teologisnya. Tetapi
mengamalkan, nnempraktikkan
dan memberi mereka contoh
atasnya. Pluralisme jauh lebih
banyak dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari Gus Dur
dibanding diwacanakan.
Kalaupun ia diminta dalil agama,
ia akan menyampaikan ayat al
Qur’an ini: “Wahai manusia, Aku
ciptakan kalian terdiri dari laki-
laki dan perempuan. Dan Aku
jadikan kalian berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku, agar kalian
saling mengenal. Sesungguhnya
manusia yang paling mulia di
antara kalian di mata-Ku, ialah
orang yang paling bertaqwa
kepada-Ku”.
“Li Ta’arafu” (saling mengenal),
tidak sekedar tahu nama, alamat
rumah, nomor handphone, atau
tahu wajah dan tubuh yang lain.
Saling mengenal adalah
memahami kebiasaan, tradisi,
adat-istiadat, pikiran, hasrat yang
lain, yang berbeda, yang tak
sama. Lebih dari segalanya “li
ta’arafu” berarti agar kalian
saling menjadi arif bagi yang lain.
Yang paling mulia di hadapan
Tuhan adalah yang paling taqwa,
bukan yang paling gagah atau
cantik, bukan yang paling kaya
atau rumah megah. Taqwa
bukan sekedar sering datang ke
masjid atau ke majlis ta’lim,
membaca kitab suci, memutar-
mutar tasbih, bangun malam,
atau puasa saban hari.Tetapi
lebih dari itu taqwa adalah
mengendalikan amarah, hasrat-
hasrat rendah, menjaga hati,
tidak melukai, tidak mengancam,
ramah, sabar, rendah hati dan
sejuta makna kebaikan kepada
yang lain dan kepada alam.
Semua itulah makna taqwa yang
dipahami Gus Dur. Maka Gus
Dur bukan sekedar menghargai
atau menghormati manusia yang
berbuat baik, melainkan juga
menyambutnya dengan rendah
hati dan rengkuhan yang hangat.
Sebaliknya, ia akan menentang
siapa saja yang merendahkan
martabat manusia, apalagi
menyakiti, mengurangi dan
menghalangi hak-hak mereka. la
akan membela mereka yang
martabat kemanusiaannya
direndahkan, mereka yang hak-
haknya dikurangi, dipasung,
disakiti dan ditelantarkan.
Ketika para pengikut Ahmadiah
diusir dan masjid-masjid mereka
dirobohkan, Gus Dur hadir
bersama mereka. Ketika Gereja-
gereja dilempari batu, ia
berteriak “jangan”. Ketika Inul
Daratista dihujat ramai-ramai
karena dia bergoyang-goyang
dan meliuk-liukkan tubuhnya
bagai bor, ia “memeluk”nya
dengan hangat. Ketika Dorce
disoraki karena berganti kelamin,
ia mengajaknya bicara dengan
lembut dan penuh kasih. “Jika itu
adalah dirimu, teruslah bekerja”,
katanya. Ketika urusan gambar
tubuh polos perempuan
(pornografi) hendak diserahkan
kepada Negara, ia
berdemonstrasi bersama isteri
tercintanya; Shinta Nuriah dan
bersama-sama mereka yang
menghargai kemanusiaan. Ketika
orang-orang Thionghoa meminta
hari raya Imlek dan Barongsae,
ia memberikannya dengan tulus.
Meski tak bisa melihat dengan
matanya, ia hadir menyaksikan
tarian-tarian singa itu dan
bertepuk tangan. Gus Dur
senang.
Seringkali kita melihat sikap
perlawanan dan pembelaan itu
dilakukannya sendirian. la
berjalan sendiri, meski ia harus
mempertaruhkan jiwanya. la tak
peduli. Dalam perlawanannya
terhadap pembredelan tabloid
Monitor dan pembelaannya
terhadap Salman Rusydi dalam
kasus bukunya Satanic Verses,
yang bikin heboh itu, misalnya,
Gus Dur tak menemukan mata
lain yang penuh pengertian. la
berjalan sendiri. Seorang sufi
mengatakan “ia yang jiwanya
telah mencapai kesadaran yang
matang, bantuan eksternal tak
lagi diperlukan”. Dan Gus Dur
sanggup menjalaninya seorang
diri dengan tegar, karena ia telah
matang.
“La Yakhaf Laumata Laa-im” (ia
tak pernah takut pada mata
yang membenci). Kata Gus Dur:
“Di tempatkan di urutan
manapun, Muhammad bin
Abdullah tetap saja sang
penghulu para nabi dan utusan
Tuhan, Insan Kamil”.
Bagi Gus Dur semua manusia
adalah sama, tak peduli dari
mana asal usulnya, apa jenis
kelamin mereka, warna kulit
mereka, suku mereka, ras dan
kebangsaan mereka. Yang Gus
Dur lihat adalah bahwa mereka
manusia seperti dirinya dan yang
lain. Yang ia lihat adalah niat
balk dan perbuatannya, seperti
kata Nabi: “Tuhan tidak melihat
tubuh dan wajahmu, melainkan
amal dan hatimu”.
Gus Dur bukan tidak paham
bahwa ada yang keliru, ada yang
tidak ia setujui atau ada yang
salah dari mereka yang
dibelanya. Gus tetap saja
nembela mereka. la membela
karena tubuh mereka diserang
dan dilukai hanya karena baju
agamanya yang berwarna lain,
harta mereka dirampas
semaunya, ekspresi-ekspresi diri
mereka dihentikan secara paksa
oleh negara atau direnggut
dengan pedang oleh otoritas
dominan dan kehormatan
mereka diinjak-injak. Padahal
mereka tak melakukan apa-apa.
Membela kehormatan adalah
perjuangan besar.
Bagi Gus Dur, ekspresi¬ekspresi
diri, personal, individual, yang
dianggap sebagian orang sebagai
tak bermoral, tak boleh
melibatkan Negara, tak boleh
diintervensi kekuasaan, tetapi
harus diselesaikan sendiri oleh
masyarakat dengan cara-cara
yang mereka miliki dan dengan
mengaji yang sungguh-sungguh,
sampai khatam dan dengan
ketulusan.
Bagi Gus Dur, keyakinan dan
pikiran tak bisa dinamai tak bisa
diberi tanda. Pikiran adalah
misteri yang tersembunyi. la
bagaikan burung yang terbang di
langit lepas. Tuhanlah yang
menganugerahkan pikiran-
pikiran pada hamba-hamba-Nya.
Dialah Pemilik nafas setiap yang
hidup dan Dialah yang akan
menanyainya kelak, bila tiba
masanya. Karena itu, hanya
Dialah yang berhak menamainya
dan menghakiminya, tidak yang
lain. Kata Rumi dalam Fihi Ma
Fihi :
“Tak ada kemampuanmu
menjauhkan pikiran-pikiran itu
meski dengan seratus ribu kali
rekayasa berkeringat”.
Itulah sikap seorang yang telah
memiliki batin yang bebas. ltulah
sifat seorang sufi, seorang bijak-
bestari yang jiwanya mampu
menembus kedalaman makna
kata-kata Tuhan. Kata-kata-Nya
memiliki dan menyimpan berjuta
makna dan tak terbatas.
Pemaksaan atas pikiran dan
keyakinan orang tak akan
menghasilkan apa-apa, sia-sia,
kecuali membuat orang dan
keluarganya menjadi sakit,
menderita, dan menghambat
kemajuan orang dan peradaban
manusia. Tak ada cara lain untuk
menundukkan orang lain kecuali
melalui bicara manis, tanpa
marah-marah dan dengan otak
yang cerdas. Jika tak tunduk,
biarkan masing-masing berjalan
sendiri-sendiri, sambil katakan
saja “anda adalah anda dan aku
adalah aku. Wassalam”.
Tindakan dan sikap itu, menurut
Gus Dur, sesungguhnya telah
diajarkan oleh Islam dan para
Nabi-nabi sejak ribuan tahun
lalu. la sering mengutip sumber
literature Islam klasik yang bicara
mengenai hak-hak individu.
Salah satunya adalah AI-
Mustashfa, karya Imam Abu
Hamid al-Ghazali. Sufi besar ini
mengatakan bahwa tujuan
aturan agama adalah
memberikan jaminan
keselamatan keyakinan orang,
keselamatan fisik, keselamatan
profesi, kehormatan tubuh dan
pemilikan harta. Al-Ghazali
menyebut lima prinsip dasar
perlindungan ini sebagai “al-
Kulliyyat al-Khams”. Orang
sering menyebutnya “Magashid
al Syari’ah” (tujuan-tujuan
pengaturan kehidupan). Lima
prinsip ini merupakan pemberian
Tuhan pada setiap manusia yang
tak ada seorang manusiapun
berhak mengurangi atau
menghilangkannya. lnilah basis
fundamental (al rukn al asasi)
pikiran-pikiran dan Iangkah-
langkah Gus Dur. Meskipun Gus
Dur membaca dan mengerti,
tetapi ia tidak mengutip
pandangan atau sumber dari
Barat atau Yahudi, seperti
dituduhkan sebagian orang. Ia
menggalinya dari sumber tradisi
Islam sendiri, dan ia mampu
menginterpretasikan dengan
cara-cara yang memukau dan
genuine, sejalan dengan konteks
kehidupan yang selalu bergerak.
Ia memang sangat kaya dengan
referensi tradisi Islam klasik ini
berikut perangkat analisisnya:
bahasa, sastra, logika, filsafat
sosial, dan metode-metode
keilmuan.
Melalui penjagaan atas lima
prinsip dasar kemanusiaan
universal tersebut, Gus Dur
memimpikan berkembang dan
tersebarnya persaudaraan
manusia atas dasar kemanusiaan
(ukhuwwah Insaniyyah), tanpa
dibatasi sekat-sekat primordial.
Ini menurut saya sesungguhnya
merupakan gagasan para sufi
besar. Para sufi yang sejumlah
namanya disebutkan di atas,
adalah orang-orang yang paling
vocal menyuarakan gagasan
pluralisme dan persaudaraan
universal itu. Tak ada keraguan
sedikitpun di hati mereka pada
prinsip utama agama bahwa
tidak ada di alam semesta ini
kecuali Tuhan Yang Satu yang
kehadapan-Nya seluruh yang
mawjud tunduk. Dan seluruh
yang mawjud (ada) sejak ia ada
sampai keberadaannya tercabut,
selalu dan terus mencari-cari Dia
melalui jalan dan bahasa yang
berbeda-beda.
Maka kebhinekaan realitas alam
semesta ini seharusnya tidak
menghalangi setiap manusia
untuk memahami pikiran, bahasa
dan kehendak-kehendak
manusia yang lainnya. Para sufi
memandang alam semesta yang
beragam dan yang seluruhnya
mengandung keindahan sebagai
“tajalli” Tuhan, perwujudan
rahmat dan keagungan-Nya di
alam semesta. Keberanekaan
berasal dari Tuhan. Dialah Sang
Penciptanya. Ibnu Athaillah,
nama sufi besar yang dikagumi
Gus Dur, banyak bicara soal
Kesatuan Semesta, meneruskan
gagasan Ibnu Arabi.
Nah, lagi-lagi di sini kita
menemukan jalan yang
ditempuh Gus Dur. Gagasan-
gagasan dan tindakan-tindakan
pluralismenya ternyata
berangkat dari tradisinya sendiri.
la tekun mengaji kitab¬kitab
klasik raksasa dan primer sampai
khatam.
Sayang, kitab-kitab ini amat
jarang dibaca orang atau dibaca
tetapi hanya sampai kulit luar,
yang tertulis, yang literal,
harfiyah, dan tak khatam, tak
selesai
kewalian seseorang sangat ketat
dengan aturan-aturan gnostik
(ma’rifatullah) yang teraksentuasi
dalam sikap ubudiyah. Ada dua
model kewalian dalam sosiologi
Tasawuf, di satu sisi seorang wali
ada yang sangat popular dengan
hal-hal luar biasa di luar
jangkauan nalar, ada pula yang
sangat tersembunyi, bahkan
kehebatan karomahnya tidak
dikenal oleh public sama sekali.
Namun, Gus Dur memiliki
fenomena spiritual yang langka
dibanding kiai-kai lain di Jawa,
karena harus muncul dalam
gebrakan sejarah yang penuh
warna. Dari sosoknya sebagai
budayawan, seniman, kiai,
politisi, pemikir, pembaharu, dan
seorang yang mampu
mengangkat khazanah
tradisional dalam dialog
cosmopolitan yang actual. Dan
spirit yang membawa sosoknya
sedemikian kuat itu, dilandaskan
pada spiritualitas yang sangat
kaya dengan kebebasan,
kemerdekaan, penghargaan
kemanusiaan, sekaligus
askestisme yang tersembunyi
dalam jiwanya: Dunia Sufi.
Sufisme Gus Dur yang selama ini
hanya difahami oleh massanya,
melalui kebiasaan ziarah ke
makam para wali, ungkapan-
ungkapan yang controversial,
dan spontanitasnya yang
inspiratif, serta garis keturunan
seorang Ulama dan wali yang
terkenal, Hadhratusy Syeikh
Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
Namun, laku Sufistik Gus Dur
justru terletak pada sikap dan
konsistensinya terhadap nilai-nilai
tasawuf yang sama sekali tidak
terpaku pada simbolisme tasawuf
sebagaimana gerakan kaum Sufi
modern saat ini.
Komunikasi Ilahiyah yang selama
ini terjalin adalah “hubungan
rahasia” yang sunyi di tengah-
tengah hiruk pikuk dunia, dan
melakukan gerakan terlibat
dengan kehidupan nyata,
dengan keberanian mengambil
resiko bahaya, demi
mempertahankan prinsip
utamanya. Namun di sisi lain,
ada konser kebahagiaan yang
berirama indah dalam musikal
dzikrullah, saat Gus Dur sedang
sendiri, menyepi (khalwat) dalam
jedah kesehariannya. Dua sisi
hiburan spiritual yang boleh
disebut sangat langka: Ramai
dalam sunyi, dan sunyi dalam
ramai.
Pengaruh dari nuansa yang
diyakini itu, Gus Dur justru
mampu melakukan terobosan
yang luar biasa, begitu cepat.
Dalam 20 tahun gerakan
Gusdurian, masyarakat NU yang
jumlahnya begitu besar terbuka
lebar dalam dialog kemodernan,
seperti sebuah gerakan konser
musik yang dinamik. Maka
liberalitas tradisionalnya muncul
dengan kuantum melebihi
zamannya. NU menjadi
organisasi masyarakat muslim
modern yang mengejutkan, yang
disebut oleh Nakamura sebagai
organisasi Islam paling
demokratis di dunia.
Namun seluruh dinamika
gerakan Gus Dur tidak lepas dari
nilai-nilai tradisional Sufistiknya
yang transformative. Semisal Gus
Dur yang begitu kental dengan
hikmah-hikmah Ibnu Athaillah
as-Sakandary yang tertuang
dalam kitab Sufi Al-Hikam –
bahkan hafal di luar kepala –
dalam membangun masyarakat
Islam dalam konteks ke-
Indonesiaan.
Kitab Al-Hikam sangat dikenal
oleh para Ulama Sufi sejak abad
tujuh hijriyah, menjadi manual
bagi “Sufisme Pesantren” tingkat
tinggi, sebagai kajian sufi paska
Ihya’ Ulumaddin, Al-Ghazaly, Ar-
Risalatul Qusyairiyah karya Abul
Qasim Al-Qusyairy, maupun Al-
Luma’, karya Abu Nashr as-
Sarraj.
Kekentalan Gus Dur dengan Al-
Hikam memberi warna kuat,
terutama dua wacana disana
yang berbunyi: “Janganlah
engkau bergabung atau berguru
dengan orang yang kata-kata
dan perilaku ruhaninya tidak
membangkitkan dirimu dan
menunjukkan padamu menuju
Allah.” Konon, nama Nahdhatul
Ulama mendapatkan inspirasi
dari hikmah tersebut, sekaligus
menjadi standar apakah Ulama
NU kelak konsisten dengan
kebangkitan menuju Allah atau
menuju dunia?
Kemudian, hikmah lain yang
begitu kental, adalah,
“Pendamlah dirimu di tanah
sunyi, karena biji yang tak
pernah terpendam tidak akan
tumbuh dengan sempurna.”
Sebuah wacana yang sangat kuat
tekanannya dalam menggugat
kemunafikan beragama, dan
segala gerakan industri ekonomi
dan politik atas nama agama,
yang akhir-akhir ini begitu
menguat beriringan dengan
gerakan formalisme keagamaan.
Menyembunyikan hubungan
antara hamba dan Allah sebagai
rahasia kehambaan adalah
mutiara Sufi yang agung.
Sebaliknya pamer pengalaman
beragama, bahkan menjurus
pada riya’ adalah bentuk syirik
yang tersembunyi. Karena itu,
dalam Al-Hikam juga disebutkan,
“Nafsu dibalik maksiat itu nyata
dan jelas, tetapi nafsu di balik
taat itu, sangat tersembunyi, dan
terapi atas yang tersembunyi
sangatlah sulit.”
Demokrasi dan Sufisme
Disinilah Sufisme menjadi
penghubung efektif, ketika
demokrasi diterjemahkan dalam
hubungan saling menghargai di
tengah pluralitas yang sedang
bergerak. Sebab, kebebasan,
penghargaan terhadap hak-hak
kemakhlukan, kecintaan sesama,
kehambaan individu, dan
sejumlah nilai-nilai yang bisa
mempertemukan perspektif
bersama hanya pada Sufisme.
Sebab hanya Sufisme-lah yang
melihat dua titik pandang: Allah
dan manusia. Pandangan-
pandangan Sufistik itulah yang
melampaui “halal-haram”,
sehingga hubungan kebangsaan
tidak dihorisonkan pada
belahan-belahan yang saling
berhadapan, hitam dan putih. Di
sini, jika tidak kita cermati,
lompatan-lompatan pemikiran
Gus Dur terasa konstroversial,
karena di satu sisi ia harus
menjadi Kiai Bangsa, di lain pihak
ketika ia harus menjadi Presiden.
Ketika ia masih menjadi presiden
ada posisi dualistik. Posisinya
sebagai Kiai Bangsa adalah posisi
Sufistik dalam membangun
kearifan hidup bersama,
sementara tugas-tugas formal
kepresidenannya, jelas
berhubungan dengan amanat
yang dilimpahkan oleh MPR
kepadanya. Namun, ketika posisi
Kiai Bangsa dinilai lebih menonjol
ketimbang kepresidenannya,
tiba-tiba gugatan-gugatan
muncul sampai pada titik paling
kritis. Suatu gugatan “halal-
haram” dari lawan-lawan
politiknya.
Mengapa Gus Dur lebih banyak
menonjolkan Kiai Bangsa
ketimbang kepresidenannya?
Karena kebutuhan bangsa saat
ini bukanlah kebutuhan
formalitas dan “topeng-topeng”
dibalik birokrasi dan
penyelenggaraan negara. Setelah
tiga dasawarsa bangsa ini
dibelenggu oleh formalisme dan
ritualisme monopolitik, maka,
pertama-tama bangsa ini
membutuhkan pencerahan jiwa
agar bisa kembali ke fitrah
kebangsaannya.
Tanpa kesadaran psikhologis
akan hakikat berbangsa,
demokrasi akan gagal dibangun,
apalagi oleh sekadar mayoritas
dan minoritas dalam perolehan
suara, menang dan kalah belaka.
Berarti, Gus Dur tetap
mengambil wilayah hati nurani,
untuk menjadi jiwa demokrasi.
Disebut hati nurani disini,
bukanlah ambisi-ambisi batin
yang diaksentuasikan dalam
jeritan protes atau
pemberontakan rasional. Protes-
protes apa pun namanya, selalu
merujuk pada ketidakadilan.
Tetapi penegakan keadilan
belaka, ternyata tidak cukup
untuk menegakkan rumah
kebangsaan. Karena fondasi
rumah kebangsaan kita adalah
cinta dan kasih sayang, bukan
keadilan. Kasih sayang atau
rahmat, ketika
diimplementasikan dalam proses
berdemokrasi, akan melahirkan
penghargaan terhadap pluralitas
secara adil dan egaliter.
Sementara penegakan keadilan
tanpa rahmat, hanya melahirkan
kemenangan penuh dendam.
Inilah yang ingin dihindari Gus
Dur, ketika dulu mengadili
Soeharto, jangan sampai timbul
rasa dendam terhadap tokoh
Orba tersebut. Sebab siapa pun
merasa tidak mendapatkan
ketidakadilan ketika ia harus
dihukum, namun harus pula
menerima dendam kemanusiaan.
Dalam kisah legendaris, yang
dipresentasikan secara dramatis
antara Sunan Kalijogo dengan
Syeikh Siti Jenar, terpantul suatu
cerminan, bahwa eksekusi
terhadap Syeikh Siti Jenar, sedikit
pun tidak mengurangi rasa cinta
Sunan Kalijogo terhadap
kawannya itu. Karena,
sesungguhnya jiwa dan hati
Sunan Kalijogo dan Syekh Siti
Jenar berada dalam dataran
yang sama. Dan sebaliknya, sikap
demokrat sejati Syeikh Siti Jenar
yang secara “berani”
menghadapi eksekusi, adalah
karena penghargaannya
terhadap konstitusi dan hukum
para Wali.
Maka, di dalam drama eksekusi
tersebut, prosedur-prosedur
formal tidak boleh
mengintervensi aturan-aturan
jiwa yang menjadi batin dari
suatu keputusan. Karena
intervensi rasionalisme terhadap
spiritualisme bisa melahirkan
emosi-emosi negatif, sebalikinya
intervensi spiritualisme terhadap
rasionalisme bisa melahirkan
kalim-klaim sakralisme dalam
bentuk sekularisme yang maniak.
Oleh sebab itu, dendam
terhadap tokoh yang bersalah,
bisa disebut sebagai “dosa
demokrasi” ketika penegakan
hukum sebagai salah satu lemen
demokrasi, justru ditaburi oleh
“balas dendam”. Sementara
fakta yang kita lihat dalam
proses demokratisasi kita, justru
ada elemen lain yang ditolerir
dalam proses penegakan hukum,
yaitu proses dendam sejarah.
Kenyataan ini menunjukkan
adanya pertanyaan besar yang
belum dijawab oleh mereka yang
ingin menegakkan demokrasi itu
sendiri. Nilai-nilai dan roh
demokrasi model apakah yang
hendak ditegakkan bagi
demokrasi Indonesia?
Sebagai suatu wacana, Sufisme
bisa disebut sebagai wacana baru
bagi proses penegakan wacana
kedemokrasian kita. Walau pun
begitu, — setidak-tidaknya, —
kita melihat sebagian praktek
Sufisme bagi demokrasi itu ada
dalam perilaku kepemimpinan
Gus Dur. Terlepas suka maupun
tidak, sangat tidak demokratis
manakala kita bersikap apriori
begitu saja terhadap gerakan
Demokrasi Gusdurian, sebelum
kita memahami secara tulus apa
dan siapa Gus Dur dalam
konteks kebudayaan dan
hakikat-hakikat keagamaan. *
Gus Dur adalah Tokoh
Pluralisme, terserah jika ada
orang yang tidak suka dengan
sebutan ini, termasuk para
pecintanya sendiri. Konon,
Djohan Efendi, sahabat setia Gus
Dur, pernah diminta Gus Dur
agar jika ia kelak wafat, nisannya
ditulis “Di Sini dikubur Sang
Pluralis”. Terlepas pesan itu
benar diucapkan Gus Dur atau
tidak, dan tak peduli masyarakat
memperdebatkan maknanya,
tetapi beliau orang yang selalu
ingin memandang manusia,
siapapun dia dan di manapun
dia berada, sebagai manusia
yang adalah ciptaan Tuhan.
Sebagaimana Tuhan
menghormatinya, Gus Dur juga
ingin menghormatinya.
Sebagaimana Tuhan mengasihi
makhluk-Nya, Gus Dur juga ingin
mengasihinya.”Takhalquu bi
Akhlaq Allah” (berakhlaklah
dengan akhlak Allah), kata
pepatah sufi. Sejauh yang saya
tahu, Gus Dur tak banyak bicara
soal wacana Pluralisme berikut
dalil-dalil teologisnya. Tetapi
mengamalkan, nnempraktikkan
dan memberi mereka contoh
atasnya. Pluralisme jauh lebih
banyak dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari Gus Dur
dibanding diwacanakan.
Kalaupun ia diminta dalil agama,
ia akan menyampaikan ayat al
Qur’an ini: “Wahai manusia, Aku
ciptakan kalian terdiri dari laki-
laki dan perempuan. Dan Aku
jadikan kalian berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku, agar kalian
saling mengenal. Sesungguhnya
manusia yang paling mulia di
antara kalian di mata-Ku, ialah
orang yang paling bertaqwa
kepada-Ku”.
“Li Ta’arafu” (saling mengenal),
tidak sekedar tahu nama, alamat
rumah, nomor handphone, atau
tahu wajah dan tubuh yang lain.
Saling mengenal adalah
memahami kebiasaan, tradisi,
adat-istiadat, pikiran, hasrat yang
lain, yang berbeda, yang tak
sama. Lebih dari segalanya “li
ta’arafu” berarti agar kalian
saling menjadi arif bagi yang lain.
Yang paling mulia di hadapan
Tuhan adalah yang paling taqwa,
bukan yang paling gagah atau
cantik, bukan yang paling kaya
atau rumah megah. Taqwa
bukan sekedar sering datang ke
masjid atau ke majlis ta’lim,
membaca kitab suci, memutar-
mutar tasbih, bangun malam,
atau puasa saban hari.Tetapi
lebih dari itu taqwa adalah
mengendalikan amarah, hasrat-
hasrat rendah, menjaga hati,
tidak melukai, tidak mengancam,
ramah, sabar, rendah hati dan
sejuta makna kebaikan kepada
yang lain dan kepada alam.
Semua itulah makna taqwa yang
dipahami Gus Dur. Maka Gus
Dur bukan sekedar menghargai
atau menghormati manusia yang
berbuat baik, melainkan juga
menyambutnya dengan rendah
hati dan rengkuhan yang hangat.
Sebaliknya, ia akan menentang
siapa saja yang merendahkan
martabat manusia, apalagi
menyakiti, mengurangi dan
menghalangi hak-hak mereka. la
akan membela mereka yang
martabat kemanusiaannya
direndahkan, mereka yang hak-
haknya dikurangi, dipasung,
disakiti dan ditelantarkan.
Ketika para pengikut Ahmadiah
diusir dan masjid-masjid mereka
dirobohkan, Gus Dur hadir
bersama mereka. Ketika Gereja-
gereja dilempari batu, ia
berteriak “jangan”. Ketika Inul
Daratista dihujat ramai-ramai
karena dia bergoyang-goyang
dan meliuk-liukkan tubuhnya
bagai bor, ia “memeluk”nya
dengan hangat. Ketika Dorce
disoraki karena berganti kelamin,
ia mengajaknya bicara dengan
lembut dan penuh kasih. “Jika itu
adalah dirimu, teruslah bekerja”,
katanya. Ketika urusan gambar
tubuh polos perempuan
(pornografi) hendak diserahkan
kepada Negara, ia
berdemonstrasi bersama isteri
tercintanya; Shinta Nuriah dan
bersama-sama mereka yang
menghargai kemanusiaan. Ketika
orang-orang Thionghoa meminta
hari raya Imlek dan Barongsae,
ia memberikannya dengan tulus.
Meski tak bisa melihat dengan
matanya, ia hadir menyaksikan
tarian-tarian singa itu dan
bertepuk tangan. Gus Dur
senang.
Seringkali kita melihat sikap
perlawanan dan pembelaan itu
dilakukannya sendirian. la
berjalan sendiri, meski ia harus
mempertaruhkan jiwanya. la tak
peduli. Dalam perlawanannya
terhadap pembredelan tabloid
Monitor dan pembelaannya
terhadap Salman Rusydi dalam
kasus bukunya Satanic Verses,
yang bikin heboh itu, misalnya,
Gus Dur tak menemukan mata
lain yang penuh pengertian. la
berjalan sendiri. Seorang sufi
mengatakan “ia yang jiwanya
telah mencapai kesadaran yang
matang, bantuan eksternal tak
lagi diperlukan”. Dan Gus Dur
sanggup menjalaninya seorang
diri dengan tegar, karena ia telah
matang.
“La Yakhaf Laumata Laa-im” (ia
tak pernah takut pada mata
yang membenci). Kata Gus Dur:
“Di tempatkan di urutan
manapun, Muhammad bin
Abdullah tetap saja sang
penghulu para nabi dan utusan
Tuhan, Insan Kamil”.
Bagi Gus Dur semua manusia
adalah sama, tak peduli dari
mana asal usulnya, apa jenis
kelamin mereka, warna kulit
mereka, suku mereka, ras dan
kebangsaan mereka. Yang Gus
Dur lihat adalah bahwa mereka
manusia seperti dirinya dan yang
lain. Yang ia lihat adalah niat
balk dan perbuatannya, seperti
kata Nabi: “Tuhan tidak melihat
tubuh dan wajahmu, melainkan
amal dan hatimu”.
Gus Dur bukan tidak paham
bahwa ada yang keliru, ada yang
tidak ia setujui atau ada yang
salah dari mereka yang
dibelanya. Gus tetap saja
nembela mereka. la membela
karena tubuh mereka diserang
dan dilukai hanya karena baju
agamanya yang berwarna lain,
harta mereka dirampas
semaunya, ekspresi-ekspresi diri
mereka dihentikan secara paksa
oleh negara atau direnggut
dengan pedang oleh otoritas
dominan dan kehormatan
mereka diinjak-injak. Padahal
mereka tak melakukan apa-apa.
Membela kehormatan adalah
perjuangan besar.
Bagi Gus Dur, ekspresi¬ekspresi
diri, personal, individual, yang
dianggap sebagian orang sebagai
tak bermoral, tak boleh
melibatkan Negara, tak boleh
diintervensi kekuasaan, tetapi
harus diselesaikan sendiri oleh
masyarakat dengan cara-cara
yang mereka miliki dan dengan
mengaji yang sungguh-sungguh,
sampai khatam dan dengan
ketulusan.
Bagi Gus Dur, keyakinan dan
pikiran tak bisa dinamai tak bisa
diberi tanda. Pikiran adalah
misteri yang tersembunyi. la
bagaikan burung yang terbang di
langit lepas. Tuhanlah yang
menganugerahkan pikiran-
pikiran pada hamba-hamba-Nya.
Dialah Pemilik nafas setiap yang
hidup dan Dialah yang akan
menanyainya kelak, bila tiba
masanya. Karena itu, hanya
Dialah yang berhak menamainya
dan menghakiminya, tidak yang
lain. Kata Rumi dalam Fihi Ma
Fihi :
“Tak ada kemampuanmu
menjauhkan pikiran-pikiran itu
meski dengan seratus ribu kali
rekayasa berkeringat”.
Itulah sikap seorang yang telah
memiliki batin yang bebas. ltulah
sifat seorang sufi, seorang bijak-
bestari yang jiwanya mampu
menembus kedalaman makna
kata-kata Tuhan. Kata-kata-Nya
memiliki dan menyimpan berjuta
makna dan tak terbatas.
Pemaksaan atas pikiran dan
keyakinan orang tak akan
menghasilkan apa-apa, sia-sia,
kecuali membuat orang dan
keluarganya menjadi sakit,
menderita, dan menghambat
kemajuan orang dan peradaban
manusia. Tak ada cara lain untuk
menundukkan orang lain kecuali
melalui bicara manis, tanpa
marah-marah dan dengan otak
yang cerdas. Jika tak tunduk,
biarkan masing-masing berjalan
sendiri-sendiri, sambil katakan
saja “anda adalah anda dan aku
adalah aku. Wassalam”.
Tindakan dan sikap itu, menurut
Gus Dur, sesungguhnya telah
diajarkan oleh Islam dan para
Nabi-nabi sejak ribuan tahun
lalu. la sering mengutip sumber
literature Islam klasik yang bicara
mengenai hak-hak individu.
Salah satunya adalah AI-
Mustashfa, karya Imam Abu
Hamid al-Ghazali. Sufi besar ini
mengatakan bahwa tujuan
aturan agama adalah
memberikan jaminan
keselamatan keyakinan orang,
keselamatan fisik, keselamatan
profesi, kehormatan tubuh dan
pemilikan harta. Al-Ghazali
menyebut lima prinsip dasar
perlindungan ini sebagai “al-
Kulliyyat al-Khams”. Orang
sering menyebutnya “Magashid
al Syari’ah” (tujuan-tujuan
pengaturan kehidupan). Lima
prinsip ini merupakan pemberian
Tuhan pada setiap manusia yang
tak ada seorang manusiapun
berhak mengurangi atau
menghilangkannya. lnilah basis
fundamental (al rukn al asasi)
pikiran-pikiran dan Iangkah-
langkah Gus Dur. Meskipun Gus
Dur membaca dan mengerti,
tetapi ia tidak mengutip
pandangan atau sumber dari
Barat atau Yahudi, seperti
dituduhkan sebagian orang. Ia
menggalinya dari sumber tradisi
Islam sendiri, dan ia mampu
menginterpretasikan dengan
cara-cara yang memukau dan
genuine, sejalan dengan konteks
kehidupan yang selalu bergerak.
Ia memang sangat kaya dengan
referensi tradisi Islam klasik ini
berikut perangkat analisisnya:
bahasa, sastra, logika, filsafat
sosial, dan metode-metode
keilmuan.
Melalui penjagaan atas lima
prinsip dasar kemanusiaan
universal tersebut, Gus Dur
memimpikan berkembang dan
tersebarnya persaudaraan
manusia atas dasar kemanusiaan
(ukhuwwah Insaniyyah), tanpa
dibatasi sekat-sekat primordial.
Ini menurut saya sesungguhnya
merupakan gagasan para sufi
besar. Para sufi yang sejumlah
namanya disebutkan di atas,
adalah orang-orang yang paling
vocal menyuarakan gagasan
pluralisme dan persaudaraan
universal itu. Tak ada keraguan
sedikitpun di hati mereka pada
prinsip utama agama bahwa
tidak ada di alam semesta ini
kecuali Tuhan Yang Satu yang
kehadapan-Nya seluruh yang
mawjud tunduk. Dan seluruh
yang mawjud (ada) sejak ia ada
sampai keberadaannya tercabut,
selalu dan terus mencari-cari Dia
melalui jalan dan bahasa yang
berbeda-beda.
Maka kebhinekaan realitas alam
semesta ini seharusnya tidak
menghalangi setiap manusia
untuk memahami pikiran, bahasa
dan kehendak-kehendak
manusia yang lainnya. Para sufi
memandang alam semesta yang
beragam dan yang seluruhnya
mengandung keindahan sebagai
“tajalli” Tuhan, perwujudan
rahmat dan keagungan-Nya di
alam semesta. Keberanekaan
berasal dari Tuhan. Dialah Sang
Penciptanya. Ibnu Athaillah,
nama sufi besar yang dikagumi
Gus Dur, banyak bicara soal
Kesatuan Semesta, meneruskan
gagasan Ibnu Arabi.
Nah, lagi-lagi di sini kita
menemukan jalan yang
ditempuh Gus Dur. Gagasan-
gagasan dan tindakan-tindakan
pluralismenya ternyata
berangkat dari tradisinya sendiri.
la tekun mengaji kitab¬kitab
klasik raksasa dan primer sampai
khatam.
Sayang, kitab-kitab ini amat
jarang dibaca orang atau dibaca
tetapi hanya sampai kulit luar,
yang tertulis, yang literal,
harfiyah, dan tak khatam, tak
selesai
[Sumber Tulisan] http://songgobumi.wordpress.com/2011/08/03/gusdur-sang-sufi-unik/
Ditulis oleh:
Unknown - Rabu, 17 April 2013